PersianPTC.com

Verifikasi Paypal Gratis

on Minggu, 31 Mei 2009

Ringkasan ini tidak tersedia. Harap klik di sini untuk melihat postingan.
READ MORE - Verifikasi Paypal Gratis

Mau Isi Blog Jadi Bagus? Baca ini…

on Senin, 11 Mei 2009


Banyak yang bilang kalau blog anda ingin sukses, isinya harus bagus. Bahkan hebat! “Content is king,” begitu kata mereka.

Pernyataan atau saran ini mudah sekali anda temukan di mana-mana. Dari tulisan di media massa sampai omongan para tetangga. Di hutan rimba internet jumlahnya pasti bisa sampai ribuan. Saya belum coba, tapi kalau anda mau melakukannya coba ketik query “content is king”di search engine, hasil yang muncul kalau anda mau buka satu persatu membacanya butuh waktu tujuh hari tujuh malam mungkin…

Yang pasti, jika isi blog bagus banyak yang suka. Kalau jelek, jangan harap bisa laris.

Soal urusan bagus tidak bagus ini semua orang juga sudah tahu. Sampai anak kecil yang usianya belum akil baligh pun sudah tahu hal ini. Anak saya yang masih di playgroup sudah pintar mempraktekkannya. Ketika pilah pilih mainan contohnya, dia tak mau melirik mainan yang dilihat saja sudah bikin ‘mata sakit’ alias tak sedap dipandang. Mungkin baginya bentuknya aneh dan tak cocok dengan dunia imajinasi anak-anak. Kalau dipegang rasanya kurang kuat alias bahannya mudah rusak dan ketika dimainkan juga tak menarik atau mbosenin, pasti dia emoh pilih.

Yang dia pilih bahannya kokoh (karena biasanya buat dibanting-banting ;) ), bentuknya sering ia lihat (kadang dikompori oleh acara anak di televisi juga), dan cara memainkan bisa digabungkan dengan ‘gerombolan’ mainan yang sudah ia punya.

Dan biasanya yang seperti ini harganya lebih ‘elit’. Tapi soal harga tak masuk pertimbangannya. So, dia tak peduli soal harga, yang penting dia bertekad bulat harus punya. Apalagi kalau sudah sambil merengek, tawaran mainan lainnya meski ditambahi iming-iming es krim pasti ditolaknya mentah-mentah…

Ya mau apalagi, pasti isi saku lebih dalam rela saya rogoh. :-) “Sayang anak sayang anak pak…” kata penjual mainan sambil tersenyum.

Kembali soal content blog, begitu pula kira-kira yang terjadi kalau isi blog kita sangat bagus. Pengunjung pasti tak rela ketinggalan setiap posting yang kita buat. Apapun yang kita tawarkan pasti akan ‘dilahapnya’ habis. Kalau sudah begitu, sepertinya semua yang kita buat menjadi begitu bernilai bagi mereka. Kalau tak punya atau tak baca, rasanya bisa ketinggalan dan hidupnya jadi tak lengkap…

Tapi sebetulnya seperti apa content blog yang bagus? Dan apa yang membuat sebuah posting dinilai bagus?

Setelah sempat pusing juga memikirkannya, saya coba berpendapat mengenai prinsip-prinsip dasar good content. Anda boleh menambahkannya juga nanti di bagian komentar. Baiklah biar tak berlama-lama, langsung dibaca saja:

1. Kualitas Isi itu Tergantung Pembaca.
Ada yang bilang kalau kualitas isi sebuah blog itu sebetulnya sangat subjektif. Sebab sangat tergantung dari pembacanya. Kalau memang pengalaman dan pengetahuan si pengunjung tergolong banyak, maka posting yang memuat hal-hal mendasar bisa dianggap tak ada ‘isi’-nya. Tapi sebaliknya bagi orang yang baru tahu, postingan itu bisa dianggap sangat bernilai dan ‘wah’.

Kalau menurut saya, penilaian kualitas isi itu bisa subjektif sekaligus objektif. Maksudnya?

Subjektif seperti alasan di atas. Karena blogger dan penikmatnya adalah manusia. Dan manusia memiliki plus minusnya masing-masing. Maka sangat wajar kalau ada suatu posting yang dinilai sangat bagus, tapi ada yang bilang biasa-biasa atau bahkan jelek.

Apalagi ketika browsing, tujuan pembaca blog juga bemacam-macam. Ada yang tengah mencari hal-hal yang mendasar, tapi ada pula yang mencari segi teknisnya saja.

Tapi saya pun berpendapat penilaian bisa objektif. Sebab setiap posting yang baik memiliki syarat-syarat tertentu, seperti memenuhi keingintahuan pembaca, isinya lengkap, dan disampaikan secara menarik, jelas, dan mudah dimengerti alias tidak mbulet.

Dan setidaknya biar content yang kita tulis bisa lebih menarik, anda bisa perhatikan hal-hal berikut:

  • Berita baru. Yang baru selalu menarik diikuti. Tulis berita baru yang berdampak besar bagi para blogger. Upayakan jadi pertama menuliskannya agar menjadi rujukan blogger lainnya.
  • Provokatif. Tulisan yang provokatif dan bersemangat lebih menarik orang membacanya. Sampaikan ide baru, info segar, atau mungkin kritikan yang membangun secara provokatif.
  • Menghibur. Posting yang menghibur bisa lebih menarik bagi pengunjung. Bukan cuma soal cara menulis saja, tapi juga ilustrasi gambar atau sisipan video yang mempermudah pengunjung memahami isi posting. Selipkan juga humor untuk buat pengunjung tersenyum.
  • Lengkap. Setiap orang senang membaca tulisan yang lengkap. Karena pemahaman mereka menjadi lebih utuh tentang suatu persoalan. So, tulis secara lengkap, jangan setengah-setengah!

Karena penilaian sebuah content itu bisa subjektif atau objektif, maka santai sajalah kalau di blog ada yang berkomentar “Biasa aja tuh…” atau mungkin memaki-maki anda. Barangkali dia termasuk yang sudah kenyang pengalaman dan masuk golongan pakar blog. ;)

Daripada sakit hati menanggapi komentar yang tak enak, menurut saya lebih baik mempromosikan isi blog kita biar bisa dibaca lebih banyak orang lagi. Caranya bisa anda baca di sini atau ini.

2. Kualitas itu tergantung pembandingnya.
Selain pembacanya, sebuah posting dinilai bagus tergantung dari pembandingnya. Kalau posting anda memang kalah komplit isinya dengan posting lain yang temanya sejenis, posting anda akan dinilai kalah bagus. Tapi kalau isi posting anda tidak ‘pasaran’ seperti posting-posting lainnya, anda boleh berbangga diri.

Karena itu penting membuat posting yang unik dan berbeda. Bahkan saya sarankan berambisilah buat posting yang tidak bakal ditemui orang kecuali di blog anda. Pasti posting anda akan jadi rujukan blog lain!

Pahami apa yang dicari peminat blog anda dan tulis. Itu kuncinya! Untuk itu, anda jangan bosan-bosan minta saran dan kritikan dari pengunjung. Biar anda tahu apa yang harus ditulis untuk mereka. Tentu anda juga harus terus belajar dari manapun. Bisa buku, koran, majalah atau blog lain yang sama topiknya. Kelebihan mereka bisa anda buat menambal kekurangan blog anda.

Perlu anda biasakan juga menulis dengan tujuan yang jelas. Kalau tujuan anda untuk menjalin hubungan dengan blogger lain, taruh saja link-link alamat mereka di posting anda. Atau kalau anda ingin tahu bagaimana pendapat orang-orang tentang photo atau video anda bisa kirimkan lewat StumbleUpon misalnya. Kalau anda cari traffic, genjot promosi lewat berbagai lini, seperti di media sosial.

Yang penting, upayakan setiap posting memiliki tujuan yang jelas. Dan itu sudah harus anda tetapkan sebelum menulis.

Ok. Ada yang mau komentar?

READ MORE - Mau Isi Blog Jadi Bagus? Baca ini…

Yes... You are Indeed A Genius

on Kamis, 23 April 2009

Our only limitations are those which we set up in our minds or permit others to establish for us ? Elizabeth Arden

Saya mendapat banyak email menanggapi artikel saya sebelumnya yang berjudul "Born to be a Genius but conditioned to be an Idiot". Banyak yang bertanya lebih lanjut dan berdiskusi mengenai topik ini.

Pertengahan bulan Februari 2006 ini saya diundang berbicara di hadapan sekitar 2.000 orangtua, murid, dan guru. Kembali saya menekankan bahwa sebenarnya kita terlahir dengan potensi menjadi seorang jenius. Meskipun demikian tetap ada yang skeptis dan meminta penjelasan lebih lanjut.

Para pembaca, tahukah anda bahwa seorang manusia, saat dilahirkan, telah memiliki sekitar 100 miliar sel otak aktif dan 900 miliar sel otak pendukung? Total "bekal" kita saat nongol di bumi adalah sekitar 1 triliun sel otak. Dan Tuhan Maha Adil dan Maha Penyayang. Semua anak manusia dibekali dengan jumlah sel otak yang sama. Tidak ada diskon dan tidak ada bonus.

Bandingkan dengan siput yang hanya memiliki 8 sel otak, lebah 7 ribu sel , lalat buah 100 ribu sel , tikus 5 juta sel, dan monyet 10 miliar sel otak. Hewan-hewan ini, dengan jumlah sel otak yang jauh di bawah yang dimiliki manusia, ternyata menunjukkan kecerdasan yang luar biasa.

Ambil contoh lebah. Lebah, hanya dengan bekal 5 ribu sel otak, mampu mencari madu, tidak perlu menggunakan peta atau kompas, mengerti hirarki tugas dan tanggung jawab, dan dapat hidup akur dalam satu koloni. Luar biasa bukan? Bagaimana dengan manusia?

Untuk lebih memudahkan saya menjelaskan maksud saya, mengenai kejeniusan kita, maka saya akan menggunakan analogi komputer. Maksudnya, otak kita saya ibaratkan seperti komputer.

Saat kita dilahirkan, secara hardware, sebenarnya perangkat keras kita kurang lebih sama. Kalau ada bedanya maka yang berbeda adalah kecepatan processor-nya. Dalam artikel ini saya hanya akan membahas otak manusia normal. Saya tidak membahas yang mengalami kerusakan otak atau kalau dalam istilah komputer ada yang bad sector.

Kecepatan processor setiap orang mungkin berbeda. Katakanlah ada yang Pentium 4, 3 GHz. Ada juga yang kecepatannya 2,7 GHz, 2,5 GHz, atau sekitar 2 GHz. Meskipun secara basic kecepatannya berbeda namun bila kita gunakan untuk menjalankan program, maka semuanya bergantung pada Operating System yang kita gunakan. Kecepatan proses memang akan sedikit berbeda namun hasil akhirnya sama. Misalnya kita mengetik menggunakan MS-Word. Tidak jadi masalah berapa kecepatan processor-nya, toh, ujung-ujungnya kita bisa menyelesaikan kerja kita dengan baik.

Yang kecepatan processor-nya tinggi ini yang kita kenal dengan anak-anak yang cemerlang atau berbakat. Kalau untuk ukuran sekolah maka anak ini masuk kategori anak dengan kemampuan akademik tinggi atau jenius.

Lalu bagaimana dengan yang kecepatan processor-nya agak rendah? Sabar dong. Saya akan jelaskan setelah pesan-pesan berikut.

Saat kita lahir, kita dibekali dengan beberapa program dasar, semacam BIOS. Kalau merujuk pada ilmu psikologi, khususnya pemikiran Piaget, maka program dasar ini disebut schema. Selanjutnya, kita menggunakan schema untuk berinteraksi dengan lingkungan, dan kita mulai mengembangkan diri kita. Kita mulai "meng-install" program-program untuk menjalankan komputer mental atau Neck-Top Computer kita.

Nah, program-program ini, khususnya program yang menjadi Operating System/OS, akan menentukan seberapa maksimal kerja komputer mental kita. Bisa anda bayangkan bila Pentium 4 dijalankan dengan DOS 3.0 atau Windows 95. Semakin canggih OS yang digunakan sudah tentu akan sangat maksimal kinerja perangkat komputer kita, bukan?

Bagaimana dengan kapasitas hard disk/memori kita? Nggak usah khawatir. Kita dibekali dengan hard disk yang sangat besar kapasitasnya. Majalah Scientific American, edisi November 2005, memuat satu artikel mengenai hasil penelitian terkini mengenai kapasitas otak dalam menyimpan informasi. Untuk bisa mengisi penuh hard disk otak maka kita harus belajar satu hal baru setiap detik selama 30 juta tahun. Benar, anda tidak salah baca, selama 30 juta tahun.

So, sejauh ini anda pasti sudah haqul yaqin bahwa secara hardware kita memang luar biasa. Kita punya potensi untuk menjadi jenius. Saya katakan "potensi", bukan "pasti jenius". Why? Karena semua kembali kepada OS yang terpasang di komputer mental kita. Inipun dengan syarat bahwa komputer mental kita tidak terkena virus. Kalau sudah terkena virus kinerjanya akan menurun drastis. Komputer akan bekerja sangat lambat, sering restart sendiri, dan hang. Hang kalau dalam konteks sekolah adalah anak mogok belajar.

Beberapa waktu lalu saya menangani dua orang kakak beradik. Si kakak, IQ-nya 130, namun sudah dua kali tidak naik kelas. Saat itu ia duduk di kelas 2 SMU swasta top di Surabaya. Akibatnya? Harus out, dan pindah sekolah lain. Adiknya juga mengalami problem yang sama. IQ adiknya 135 dan sudah hampir dikeluarkan karena masalah disiplin dan pelanggaran tata tertib sekolah. Prestasi akademiknya? Biasa-biasa dan cenderung rendah.

Kemarin, kembali saya diminta menangani anak SD kelas 6. Anak ini, sebut saja Angga, memiliki IQ superior (pada kisaran antara 131 ? 140). Apa problemnya? Angga punya masalah di bidang studi matematika. Untuk pelajaran yang lain nilainya sangat tinggi. Namun khusus matematika, nilainya hanya sekitar 4 hingga 7 saja.

Saat pertama kali bertemu saya bertanya, "Angga, apa kesan yang muncul di pikiran Angga saat mendengar kata matematika?". "Nggak suka, Pak", jawabnya cepat dan mantap. "Mengapa nggak suka?", kejar saya lagi. "Pokoknya saya nggak suka", jawabnya singkat.

Saya lalu menjelaskan kepada ibunya Angga, yang kebetulan kawan dekat saya, bahwa "program" matematika yang ada di komputer mental anaknya telah terinfeksi virus dan harus segera di"scan" dan di"repair".

Saya lalu membantu Angga, dengan menggunakan teknik terapi tertentu, men-scan dan me-repair file pikirannya yang kena virus. Hasilnya? Luar biasa. Hanya dalam satu sesi terapi Angga langsung berubah menjadi suka matematika. Ibunya sudah tentu sangat gembira dengan keadaan ini.

Dari sesi terapi ini saya berhasil menemukan bahwa program matematika Angga mulai terinfeksi virus sejak di kelas 3 SD. Bagaimana kejadiannya? Ternyata Angga tidak mengerti apa yang gurunya terangkan. Dan saat ulangan Angga mendapat nilai jelek beberapa kali. Dari sini Angga mulai merasa bodoh di bidang matematika dan tidak suka segala sesuatu yang berbau matematika.

Selanjutnya saya, secara halus, memaksa Angga untuk meningkatkan nilai matematikanya. Caranya? Saya men-set goal dan sekaligus reward yang akan didapat Angga bila berhasil mencapai target nilai yang ditetapkan. Angga sangat antusias dengan "permainan" ini.

Para pembaca yang budiman. Sampai sejauh ini saya yakin anda kini pasti mengerti bahwa setiap anak punya potensi untuk menjadi jenius. Hanya saja yang berpengaruh besar, selain kondisi hardware, adalah OS dan software yang terpasang di komputer mentalnya.

Anda mungkin bertanya, "Apakah OS yang paling baik untuk menjalankan komputer mental kita?". OS yang paling ciamsor atau ciamik soro adalah Konsep Diri Positif. Penjelasan mengenai Konsep Diri dan proses pembentukannya saya jelaskan di buku-buku yang saya tulis.

Contoh software yang saya maksudkan antara lain adalah teknik menghapal. Selama ini anak (kita) tidak pernah diajar cara atau teknik menghapal yang benar, yang sesuai dengan prinsip kerja pikiran dan memori. Yang terjadi selama ini adalah anak "dihajar" untuk menghapal begitu banyak materi tanpa tahu caranya.

Baru-baru ini saya meminta seorang anak SD kelas 5 untuk menghapal 20 kata acak. Setelah dicoba selama dua menit anak ini hanya mampu menghapal 5 kata. Inipun tidak secara urut. Maklum, software untuk menghapal yang ia gunakan adalah peninggalan jaman pra sejarah, sudah sangat kuno. Setelah saya jelaskan cara menghapal yang benar dan saya tuntun, dalam waktu yang sama, dua menit, anak ini mampu dengan sempurna menghapal 20 kata itu. Orangtua si anak yang menyaksikan demonstrasi ini sampai terkaget-kaget, nggak percaya dengan apa yang mereka saksikan.

Contoh lain? Minggu lalu, saat saya memberikan seminar bagi sekitar 2.000 orangtua, murid dan guru, saya mengajukan satu pertanyaan yang mengagetkan mereka, "Bapak dan Ibu, apakah mungkin anak TK B akhir atau SD kelas 1 awal, diajar tabel perkalian, misalnya perkalian 9, selama hanya 2 sampai 5 menit, dan anak mampu mengingat 9x1 sampai 9x10 dengan sempurna, untuk selamanya?".

Semua yang hadir menggelengkan kelapa eh? kepala mereka tanda bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan. Baik guru maupun orangtua berkata, "Untuk perkalian 9, ini diajarkan di kelas 3, Pak. Nggak mungkin bisa dikuasai anak TK B hanya dalam waktu 2 sampai 5 menit". Mengapa mereka berkata tidak mungkin? Karena software matematika mereka tidak memungkinkan hal ini terjadi.

Saya lalu mengajarkan caranya hanya dalam waktu 1 menit, karena mereka adalah orang dewasa. Setelah itu banyak yang berkomentar, "Wah, ternyata gampang banget. Saya nggak nyangka kalau ternyata hal ini bisa dilakukan. Coba dulu waktu saya kecil sudah mengerti cara ini, pasti matematika menjadi begitu mudah dan menyenangkan".

Kecanggihan software yang terpasang sangat menentukan prestasi yang dicapai seseorang. Ibaratnya, jika kita menggunakan program WS 5.0 (Word Star) dan MS-Word 2003, hasilnya pastinya akan berbeda. Mengapa? Karena MS-Word jauh lebih canggih dari pada WS.

So, pastikan bahwa kita sering meng-upgrade brain software kita. Kalau perlu, misalnya ada software baru yang lebih canggih, kita harus meng-uninstall software lama yang telah kita gunakan selama ini dan menggantinya dengan software baru yang jauh lebih unggul kinerjanya. Link : http://adiwgunawan.com/awg.php?co=p5&mode=detil&ID=7
READ MORE - Yes... You are Indeed A Genius

Born to be a Genius but Conditioned to be an Idiot

All children are born geniuses; 9.999 out of every 10.000 are swiftly,inadvertaently degeniusized by grownups - Buckminster Fuller

Minggu lalu saya memberikan pelatihan motivasi dan pengembangan diri di suatu perusahaan blue chip. Saat sesi tanya jawab, ada seorang peserta yang bertanya, "Pak, apa yang menjadi kunci sukses untuk bisa berhasil dalam penjualan/selling?". "Mengapa bapak mengajukan pertanyaan ini?", saya balik bertanya. "Saya telah mengikuti sangat banyak pelatihan. Namun, saya merasakan ada sesuatu, di dalam diri saya, yang terus menghambat diri saya. Saya tidak bisa bekerja secara maksimal", jawab peserta ini.

Saya lalu menjelaskan mengenai Konsep Diri. Bagaimana pengaruh Konsep Diri terhadap kinerja kita. Bila Konsep Diri kita positip maka akan sangat mudah bagi kita untuk meraih keberhasilan. Sebaliknya, bila Konsep Diri buruk maka kita akan sangat sulit berhasil, di bidang apa saja yang kita lakukan. Prestasi hidup kita berbanding lurus dengan Konsep Diri kita. Konsep Diri sebenarnya adalah operating system yang menjalankan komputer mental kita.

"Kalau memang Konsep Diri itu sedemikian penting, lalu mengapa kebanyakan orang Konsep Dirinya kurang baik? Hal ini tercermin dari prestasi hidup mereka yang biasa-biasa. Bisa Bapak jelaskan asal muasal terbentuknya Konsep Diri?", kejarnya lagi.

Nah, pertanyaan saya pada anda, pembaca, "Sejak kapankah Konsep Diri ini mulai terbentuk? Faktor apa saja yang mempengaruhi pembentukan Konsep Diri?"

Apa yang saya uraikan di bawah ini adalah jawaban saya kepada peserta seminar itu.

Proses pembentukan Konsep Diri dimulai sejak kita dilahirkan. Ada dua masa kritis yang perlu kita, sebagai orangtua dan pendidik, cermati. Periode pertama adalah pada usia 0?6 tahun. Periode ini sebenarnya terbagi dua, yaitu usia 0?3 thn dan 3?6 thn. Apa yang terbentuk pada tiga tahun pertama dalam hidup seorang anak merupakan fondasi yang akan digunakan sebagai landasan untuk mengkonstruksi dirinya pada tiga tahun ke dua. Selanjutnya apa yang telah terbentuk pada 6 tahun pertama hidup anak, akan digunakan sebagai fondasi untuk mengembangkan diri lebih lanjut.

Masa kritis selanjutnya adalah saat anak masuk SD. Lima tahun pertama hidup anak di SD merupakan masa kritis yang jarang atau bahkan tidak pernah diperhatikan orangtua dan pendidik. Mengapa lima tahun di SD ini sangat penting?

Semua ini berhubungan dengan sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah. Di Indonesia, anak SD kelas 1 sudah dibebani dengan minimal 9 (sembilan) mata pelajaran. Hebatnya lagi, anak-anak kita "harus" bisa mencapai nilai yang bagus. Kalau tidak baik nilainya maka akan dicap anak bodoh, bloon, tolol, goblok, telmi, otak udang, idiot,dan masih banyak istilah "keren" lainnya (maaf bila saya menggunakan kata-kata yang kurang santun).

Dari semua bidang studi, ada dua bidang studi yang menjadi kunci pembentukan Konsep Diri anak. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan di Spanyol.

Kedua bidang studi itu adalah matematika dan bahasa. Mengapa matematika dan bahasa? Di seluruh dunia, saat anak masih di SD, yang diutamakan adalah 3R yaitu Reading, Writing, and Arithmetic. Atau kalau dalam bahasa Indonesia adalah 3M yaitu Membaca, Menulis, dan Menghitung.

Saya setuju dengan pentingnya anak menguasi 3M dengan alasan berikut. Pertama, bahasa adalah kunci untuk memahami bahan ajar. Anak yang lemah kemampuan bahasanya akan sangat sulit untuk bisa mempelajari bahan ajar yang disampaikan guru. Mengapa? Karena semua bahan ajar disampaikan dengan menggunakan bahasa sebagai media atau pengantar. Kedua, matematika sangat penting untuk mengembangkan logika berpikir dan sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Saya teringat saat dua tahun lalu saya dan istri ke Singapore untuk mencari buku Sains kelas 1 SD. Kami berencana menggunakan buku Sains ini di sekolah kami, Anugerah Pekerti. Oleh staff di toko buku itu kami diberi tahu bahwa di Singapore, selama 2 tahun pertama anak di SD, mereka hanya diajarkan 3 bidang studi, yaitu bahasa Inggris, Matematika, dan bahasa Ibu (misalnya Mandarin, Melayu, India). Bidang studi lainnya baru diajarkan mulai kelas 3 SD.

Saya mendapat penjelasan bahwa hal ini disengaja agar saat anak mempelajari suatu materi, saat mereka kelas 3 SD, mereka telah mempunyai fondasi yang kuat yaitu kemampuan baca, tulis, dan hitung yang baik. Bandingkan dengan apa yang harus dijalani anak-anak kita di Indonesia. Saat kemampuan berbahasa mereka masih belum bagus anak, di Indonesia, telah dituntut untuk mempelajari sangat banyak materi. Ditambah lagi, pada umumnya anak didik kita lemah di Matematika.

Anda mungkin bertanya, "Mengapa kemampuan bahasa dan matematika yang kurang baik dapat berpengaruh negatip terhadap Konsep Diri seorang anak?"

Sebelum saya menjawab pertanyaan di atas, saya ingin menyampaikan hasil penelitian yang dilakukan di propinsi Almeria di Spanyol, dengan menggunakan SDQ Questionnaire. Penelitian ini dilakukan terhadap 245 murid SD. Hasil dari penelitian itu menyebutkan bahwa bidang studi yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap Konsep Diri anak adalah bahasa dan matematika.

Intisari dari penelitian itu adalah sebagai berikut:

1. Prestasi akademik menentukan konsep diri
Pengalaman akademik, baik keberhasilan maupun kegagalan, lebih mempengaruhi
konsep diri anak, daripada sebaliknya.
2. Level konsep diri mempengaruhi level keberhasilan akademik
3. Konsep diri dan prestasi akademik saling mempengaruhi dan saling menentukan
4. Terdapat variabel lain yang dapat mempengaruhi konsep diri dan prestasi akademik

Sekarang coba kita cermati apa yang terjadi di sekolah? Anak, sejak SD kelas 1, telah dijejali dengan begitu banyak materi yang harus dipelajari. Pada saat itu, misalnya, kemampuan bahasanya masih kurang bagus. Lalu apa akibatnya? Nilai yang dicapai anak kurang maksimal karena faktor bahasa yang menjadi penghambat. Karena sering mendapat nilai buruk, guru dan orangtua mulai memberi label "bodoh" pada anak ini. Yang terjadi selanjutnya adalah proses pemrogramam atau lebih tepatnya "pembodohan" anak karena Konsep Diri anak buruk.

Lalu bagaimana dengan matematika. Ini setali tiga uang. Proses pembelajaran matematika di SD sangat tidak manusiawi, bertentangan dengan cara belajar anak, dan sama sekali tidak fun. Di mana saja, bila saya memberikan seminar pendidikan, saya selalu bertanya pada orangtua maupun guru, "Apa mata pelajaran yang paling dibenci atau ditakuti anak didik?". Jawabannya selalu sama, "Matematika". Mengapa anak sampai takut atau benci matematika?

Cara mengajar matematika di sekolah pada umumnya bersifat abstrak. Apa maksudnya? Jika kita mengacu pada Piaget (teori perkembangan kognitif) dan Montessori (proses konstruksi diri anak) maka pada usia SD anak harus belajar dengan cara konkrit. Konkrit maksudnya adalah ada benda yang bisa dilihat dan dipegang anak saat anak belajar simbol matematika. Angka "1", "2", "3", dan seterusnya, ini adalah simbol dan bersifat abstrak. Untuk bisa benar-benar memahami konsep matematika, urutan pembelajaran yang benar adalah dari konkrit, semi abstak, dan abstrak. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah gaya belajar dan kepribadian anak. Setiap gaya belajar membutuhkan strategi yang berbeda.

Saat ini banyak orangtua, khususnya para ibu, yang bangga karena anaknya, yang masih SD kelas 1 atau 2, dapat dengan cepat menghitung perkalian 3 digit x 3 digit, karena ikut kursus menghitung cepat. Hal yang sering mereka abaikan adalah mereka tidak tahu apakah anak menguasai konsep dengan benar atau tidak. Saya pernah bertanya pada seorang ibu yang sedemikian bangga dengan anaknya yang bisa menghitung cepat, "Bu, 3 x 1 itu artinya apa?". "Lha, 3 x 1 sama dengan 3", jawabnya cepat. "Benar. Saya tahu bahwa 3 x 1 itu sama dengan 3. Dan 1 x 3 juga sama dengan 3. Tapi, secara konsep ini berbeda. 3 x 1 itu apakah 1-nya 3 kali (1+1+1) atau 3-nya satu kali (3)", tanya saya lagi.

Setelah berpikir sejenak dan mungkin agak kaget karena mendapat pertanyaan yang sangat "remeh" ini akhirnya ia menjawab, "Lha, 3 x 1 itu berarti 3-nya satu kali". "Ibu yakin dengan jawaban ini", tanya saya lagi. "Yakin Pak", jawabnya. Saya tahu kalau ia tidak yakin dengan membaca bahasa tubuhnya.

"Bu, kalau di resep dokter tertulis 3x1, ini apakah ibu akan memberi anak ibu 3 kapsul sekali minum atau satu kapsul sebanyak 3 x. Satu di pagi hari, satu di siang hari, dan satu di malam hari?", tanya saya lagi.

Mendengar pertanyaan ini wajahnya langsung merah dan ia tersenyum kecut sambil berkata, "Ya sudah tentu satu kapsul satu kali minum. Lha kalo tiga kapsul sekali minum anak saya bisa overdosis. Bapak ini nggak tahu atau pura-pura nggak ngerti?", jawabnya sambil cepat berlalu.

Hal yang tampak remeh ini akan berakibat sangat fatal terutama saat anak duduk di SD kelas 4 dan seterusnya. Saat ini, bila dasar matematika dan bahasanya tidak kuat, maka prestasi akademiknya akan jelek. Prestasi akademik yang buruk, sekali lagi, sangat berpengaruh terhadap Konsep Diri anak. Persis sama seperti hasil penelitian di Spanyol. Konsep Diri yang buruk akan terbawa hingga dewasa dan mengakibatkan anak tidak bisa berprestasi maksimal dalam hidupnya.

Saat anak tidak menguasai konsep yang benar, ditambah lagi kemampuan bahasanya masih minim, lalu anak diberi soal cerita, apa yang terjadi? Habislah anak kita. Nilainya pasti jeblok. Hal ini, kalau terjadi berulang kali (repetisi), ditambah lagi orangtua atau guru mengatakan dirinya bodoh (informasi dari figur yang dipandang memiliki otoritas), ditambah lagi emosi yang intens yang terjadi dalam diri seorang anak, maka langsung menghasilkan pemrograman pikiran bawah sadar yang sangat powerful. Celakanya lagi, ini program negatip, dalam bentuk Konsep Diri yang buruk.

Lalu apa ciri-ciri anak dengan Konsep Diri yang buruk? Pertama, anak tidak atau kurang percaya diri. Kedua, anak takut berbuat salah. Ketiga, anak tidak berani mencoba hal-hal baru. Keempat, anak takut penolakan. Dan yang kelima, anak tidak suka belajar dan benci sekolah.

Ada satu buku bagus yang ditulis kawan karib saya, Ariesandi Setyono, yang berjudul "Mathemagics ? Cara Jenius Belajar Matematika", yang perlu anda baca. Buku ini menjelaskan secara detil proses pembelajaran matematika yang benar. Aries, dengan cara yang sangat luar biasa , mampu membuat anak didiknya, dengan hati gembira, mengerjakan soal latihan matematika sebanyak 26 (dua puluh enam) halaman non stop. Baru-baru ini Aries kembali mampu membuat anak didiknya, murid SD kelas 1 dan 2, mengerjakan soal-soal latihan matematika selama 120 (seratus dua puluh) menit non stop. Saat diminta berhenti, muridnya malah ngomel dan minta terus. Murid mengerjakan soal dengan hati riang, sama sekali tanpa ada tekanan atau stress. Untuk soal ujian akhir semester, Aries memberikan 200 (dua ratus) soal yang harus dikerjakan muridnya, bukan pilihan ganda. Semua anak mampu mengerjakan hanya dalam waktu rata-rata 45 menit dengan nilai rata-rata kelas 85.

Konsep Diri yang positip sangat penting bagi seorang anak dan juga untuk orang dewasa. Fondasi yang rapuh (Konsep Diri jelek) tidak memungkinkan kita untuk bisa membangun gedung bertingkat (sukses) di atasnya.

Anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius namun proses "pendidikan" yang salah telah membuat anak tidak mampu mengembangkan potensinya secara optimal. Saya menamakan kondisi ini sebagai "idiot". Kita tidak menyadari potensi diri yang sesungguhnya. Kalaupun kita tahu dan sadar akan potensi ini kita merasa tidak mampu untuk mengembangkannya secara optimal. link : http://adiwgunawan.com/awg.php?co=p5&mode=detil&ID=6

READ MORE - Born to be a Genius but Conditioned to be an Idiot

Learning Disabled vs Teaching Disabled

Tidak ada satupun anak yang bodoh.
Yang ada adalah anak yang "dipaksa" menjadi bodoh.

- Adi W Gunawan

Pernahkah anda, orangtua atau pendidik, bertemu dengan seorang anak yang hampir semua nilai ujiannya "jeblok" namun dapat menghapal semua nama dan nomor punggung pemain sepak bola dan nama klub sepakbola yang ia kagumi? Saya yakin pasti pernah. Lalu apa hubungan antara pelajaran sekolah dan kemampuan menghapal nama pemain sepak bola? Oh, hubungannya sangat erat. Jika anda cukup jeli, anda pasti heran karena anak yang bodoh, menurut versi sekolah karena nilainya jelek, ternyata mempunyai daya ingat yang sangat tinggi untuk urusan sepakbola. Otak yang digunakan anak untuk mengingat pelajaran sekolah dan nama pemain sepak bola sudah tentu otak yang sama.

Orangtua dan guru biasanya tidak pernah mau repot-repot memikirkan keanehan ini. Biasanya guru selalu "menyalahkan" murid karena prestasi murid yang tidak maksimal. Orangtua sebaliknya akan kalang kabut mencarikan guru les bagi anaknya, agar nilai anak bisa naik. Jika anak sudah diberi les ini, les itu, nilainya masih tetap jelek, maka biasanya akan langsung diberi label sebagai anak bodoh, anak yang lamban, anak blo'on, atau, kalau pakai istilah teknis, learning disabled. Benarkah demikian?

Coba anda simak cerita berikut ini.

Ada dua orang murid kelas 8 (SMP kelas 2), Jane dan Joe, yang sangat lemah di Matematika., khususnya mengenai pelajaran pecahan. Ke dua anak ini, oleh psikolog, telah mendapat label "learning disabled" alias mengalami kesulitan belajar. Selain itu ke dua anak ini juga ada masalah dengan spelling atau mengeja.

Orangtua mereka tetap berkeyakinan bahwa anak-anak mereka mampu. Hanya saja kemampuannya belum digunakan secara optimal. Mereka lalu meminta bantuan pakar pembelajaran mutakhir S.A.L.T (Suggestive Accelerated Learning and Teaching). Pakar ini setuju untuk membantu anak-anak ini.

Saat pertama kali mendapat terapi, mereka diminta mengerjakan pre-test yang berhubungan dengan kemampuan spelling. Untuk yang ini, tidak ada masalah. Mereka dengan senang hati mengerjakan tes yang diberikan. Sedangkan untuk pre-test matematika mereka sama sekali tidak mau. Meskipun sudah dibujuk dengan berbagai cara mereka tetap menolak. Saat ini anda tentu tahu apa yang terjadi. Ada mental block.

Tahukah anda berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat anak-anak ini meningkat kemampuannya? Hanya 4 hari. Benar, anda tidak salah baca. Hanya 4 (empat) hari. Berikut ringkasan test yang diberikan dari hari pertama hingga ke empat.

Mengeja / Spelling Matematika (Pecahan)
Hari 1 2 3 4 1 2 3 4
Jane 30 90 100 100 0 90 100 80
Joe 20 90 60 60 0 90 90 90

Hasil yang dicapai oleh Joe pada ujian mengeja, di hari ke 3 dan ke 4, seharusnya masing-masing 100. Namun Joe sengaja mengubah jawabannya yang benar menjadi jawaban yang salah karena dia tetap tidak percaya kalau ternyata dia mampu mengerjakan test ini dengan sempurna. Kembali, di sini kita melihat suatu mental block yang sangat merugikan.

Apa yang terjadi. Bagaimana anak yang tadinya dicap sebagai learning disabled tiba-tiba berhasil mencapai nilai yang begitu tinggi? Ke dua anak ini selanjutnya dapat menyelesaikan studi dengan baik dan bahkan masuk ke universitas.

Dari apa yang diceritakan di atas jelas terlihat bahwa anak tidak berprestasi karena adanya mental block, yang muncul sebagai akibat dari proses mengajar yang salah. Proses mengajar yang salah ini disebut dengan teaching disabled. Biasanya guru tidak pernah mau mengakui kalau ternyata mereka tidak mengerti cara mengajar yang baik, benar, efektif, dan efisien. Yang selalu disalahkan adalah murid.

Dari pengalaman saya bergaul dengan banyak pendidik, jarang ada yang benar-benar mengerti dan mampu menerapkan proses pembelajaran yang menarik, efektif, dan yang paling penting, menyenangkan. Banyak yang berasumsi bahwa bila guru mengajar maka murid pasti belajar. Mengajar dan belajar adalah dua proses yang berbeda.

Banyak hal yang perlu diketahui orangtua dan pendidik agar dapat membantu anak belajar, antara lain konsep diri, cara kerja pikiran, cara kerja otak, cara kerja memori, motivasi, rentang fokus optimal, gaya belajar, gaya asimilasi, penguasaan materi, manajemen kelas, kepribadian, musik, teknik memori, teknik mencatat, teknik berhitung, dan masih banyak lagi. Kalau sudah begini maka terlihat bahwa proses mengajar dan belajar bukanlah hal yang sederhana.

Saya juga selalu mengatakan bahwa setiap anak mempunyai kemampuan belajar yang sangat luar biasa. Bila berbicara mengenai kemampuan belajar maka orang selalu menghubungkannya dengan IQ. Di setiap seminar saya selalu mengatakan bahwa kita dapat belajar dengan sangat cepat. Dan selalu ada peserta seminar yang mengatakan, "Itu kan bergantung pada IQ. Kalau IQ-nya tinggi bisa, kalau IQ-nya biasa-biasa ya jangan harap bisa belajar dengan cepat dan dengan hasil yang baik". Cukup sulit bagi saya untuk meyakinkan tipe orang seperti ini. Orang ini hanya bicara IQ. Padahal yang saya tekankan adalah PQ atau Potential Quotient. PQ berbanding lurus dengan Konsep Diri. Semakin baik Konsep Diri seseorang maka semakin besar potensi diri yang dapat ia kembangkan. link : http://adiwgunawan.com/awg.php?co=p5&mode=detil&ID=2
READ MORE - Learning Disabled vs Teaching Disabled

Menggugat (Sistem) Ujian

Schools never teach us how to think
They only teach us what to think

- Bill Gould

Kemarin saya bertemu dengan orangtua yang mengeluh bahwa anak mereka, yang menurut mereka sebenarnya sangat pintar, pencapaian prestasi akademiknya (baca: nilai ujian) tidak seperti yang mereka harapkan. Anak ini, sebut saja Aji, duduk di kelas 2 SD.

Mendengar keluhan ini saya langsung memikirkan beberapa kemungkinan, berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saya selama ini, yang mengakibatkan nilai anak tidak maksimal. Kemungkinan-kemungkinan itu adalah:

  1. Anak memang kurang cerdas karena ada masalah mental.
  2. Anak malas atau tidak suka belajar atau suasana di rumah tidak kondusif.
  3. Pengharapan orangtua, terhadap anak mereka, terlalu tinggi.
  4. Guru tidak bisa mengajar dengan baik karena tidak menguasai teknik mengajar yang efektif dan efisien.
  5. Anak unggul di aspek kecerdasan lain, selain linguistik dan logika matematika (teori Multiple Intelligence).
  6. Anak punya trauma dalam proses pembelajaran sebelumnya sehingga menghambat proses belajarnya saat ini.
  7. Cara pengujian/tes yang kurang tepat sehingga tidak berpihak pada anak.

Saya lalu menggali lebih lanjut mengenai Aji. Kebetulan saat itu Aji ikut bersama orangtuanya sehingga saya bisa melakukan pengamatan langsung. Dari hasil pengamatan saya dapat menyimpulkan bahwa Aji adalah anak yang sangat cerdas. Mengapa? Karena Aji, meskipun baru kelas 2 SD, telah mengetahui sangat banyak hal. Misalnya, Aji tahu tentang molekul, susunan tata surya, jarak antar planet, milimeter dan nano meter, dan masih banyak lagi.

Saya sempat kaget setelah mengetahui bahwa Aji tahu sangat banyak hal. Menurut orangtuanya, Aji sangat gemar membaca dan belajar. Buku-buku pelajaran anak SMP dan SMA sebagian sudah ia lahap. Guru di sekolah Aji sampai kewalahan dan menyarankan agar Aji jangan diberi buku-buku baru lagi. Khawatir nanti jadi terlalu pintar. Bahkan ada psikolog yang juga menyarankan hal yang sama. Saya tidak sependapat dengan saran ini. Saya malah menyarankan agar Aji diberi kesempatan belajar seluas-luasnya.

Nah, kembali pada topik bahasan kita kali ini. Mengapa nilai Aji tidak maksimal? Setelah saya gali lebih lanjut, persoalan utamanya ternyata Aji sering kali, dalam memberikan jawaban pada soal ujian, menjawab tidak sesuai dengan buku panduan guru.

Contohnya? Salah satu soal pada ujian bidang studi Sains berbunyi, "Tubuh kucing ditutupi oleh...........". Aji menjawab, "Bulu". Hal ini disalahkan oleh gurunya. Ternyata menurut guru jawaban yang benar adalah "rambut". Guru ini menyalahkan jawaban Aji tanpa memberikan alasan yang masuk akal dan juga tidak memberikan penjelasan kepada Aji mengapa jawabannya "salah".

Para pembaca, bila anda sebagai guru Aji, apakah anda akan membenarkan atau menyalahkan jawaban Aji? Bila saya adalah guru Aji maka saya akan membenarkan jawaban Aji karena memang jawabannya benar sekali. Saya tidak habis pikir apa alasan si guru menyalahkan jawaban ini.

Mendengar cerita ini saya langsung teringat pada beberapa contoh kasus lainnya yang diceritakan seorang kawan saya, saat ia di kelas 1 SD. Ada guru memberikan instruksi pada lembar soal sebagai berikut, "Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini dengan jawaban singkat dan jelas". Apa yang terjadi? Ternyata ada murid yang menjawab semua pertanyaan dengan menuliskan "Singkat dan jelas". Akibatnya? Guru marah besar dan murid diberi angka nol. Selanjutnya orangtua murid dipanggil ke sekolah karena anaknya "bermasalah".

Kalau anda sebagai guru, apa yang akan anda lakukan menghadapi situasi ini? Kalau saya, saya akan memberikan nilai 100 karena murid telah melaksanakan perintah dengan sangat sempurna. Anda mungkin akan protes keras. Saya bisa memahami reaksi anda. Namun bila anda, yang tidak setuju saya memberikan nilai 100, sedikit lebih jeli dalam membaca perintah yang diberikan guru itu maka anda pasti bisa memahami sikap saya. Mengapa?

Kalau dibaca sekilas maka perintah ini kesannya sudah sangat jelas. Ternyata kalau kita baca dengan seksama, perintah ini bersifat ambigu karena punya dua makna. Pertama, murid diminta mengisi dengan jawaban yang bersifat singkat dan jelas. Kedua, murid diminta untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban, "Singkat dan jelas".

Contoh lain lagi adalah, "Adi mengalami kecelakaan .......... tanggal dua." Apa jawabannya? Guru berharap murid menjawab "pada" sehingga kalimatnya menjadi, "Adi mengalami kecelakaan pada tanggal dua". Nah, bagaimana bila anak menjawab, "Adi mengalami kecelakaan giginya tanggal dua." Benar atau salah? Ini adalah kejadian nyata di sebuah sekolah dasar swasta terkemuka di Sidoarjo.

Contoh lain lagi adalah, "Bila berdoa kita merasa .........." Jawaban yang diberikan anak ternyata sangat jujur. Anak menjawab, "Bila berdoa kita merasa mengantuk." Ternyata jawaban ini disalahkan. Yang benar adalah, "Bila berdoa kita merasa damai." Dari sini kita bisa melihat bahwa kejujuran seorang anak ternyata tidak dihargai dan justru mendapat hukuman, karena jawabannya disalahkan.

Contoh lain lagi? Saat mengerjakan matematika. Sering kali cara mengerjakan soal matematika, yang kita ajarkan kepada anak, yang ternyata lebih singkat dan praktis, ternyata tidak boleh digunakan karena tidak sesuai dengan cara yang diajarkan oleh guru. Bila anak bersikeras mengerjakan dengan cara yang diajarkan orangtuanya maka jawabannya akan disalahkan.

Saya punya contoh yang terjadi pada keponakan kami, Ani. Ini menyangkut pelajaran agama. Saat di kelas 4 SD nilai ujian agama Ani ternyata sangat jelek. Sampai harus di-remedi berkali-kali. Setelah saya selidiki akhirnya saya tahu apa penyebabnya. Ternyata guru agamanya menuntut murid harus mampu menghafal ayat-ayat suci, persis plek atau harus sama seperti yang tertulis di kitab suci.

Ternyata Ani, walaupun sudah berusaha keras menghafal, tidak mampu secara sempurna mengingat kalimat per kalimat dari sekian banyak ayat suci yang harus dihapal. Hal ini yang sering saya sesalkan. Guru meminta murid menghafal namun guru tidak pernah mengajarkan cara menghafal yang benar.

Ceritanya jadi lain saat Ani di kelas 5. Yang mengajar agama adalah guru lain, yang jauh lebih mengerti psikologi dan proses pembelajaran. Guru ini lebih menekankan aspek pemahaman dan aplikasi dari ayat suci ke dalam kehidupan sehari-hari, dari pada sekedar menghafal. Hasilnya? Nilai ujian Ani sekarang selalu di atas 9.

Nah, para pembaca yang budiman, setelah membaca sejauh ini saya yakin anda pasti pernah mengalami hal yang sama seperti yang saya ceritakan di atas. Atau anda sendiri pernah mengalami apa yang saya ceritakan.

Saya pribadi sangat yakin bahwa setiap anak dilahirkan dengan potensi menjadi seorang jenius. Yang penting adalah bagaimana kita bisa membantu seorang anak, pada saat ia bertumbuh dan berkembang, khususnya pada aspek intelektual.

Paradigma sekolah mengenai ujian adalah bila anak nilainya jelek maka anak ini masuk kategori anak yang lamban (sedikit lebih sopan daripada "bodoh"). Apakah benar demikian?

Bagaimana dengan Martinus JG Veltman, seorang fisikawan Belanda yang berhasil memenangkan hadiah nobel pada tahun 1999? Veltman, semasa masih sekolah, ternyata masuk kategori anak yang nilainya pas-pasan.

Kisah lainnya adalah tentang Masatoshi Koshiba yang juga pemenang hadiah nobel fisika tahun 2002. Saat Koshiba hendak mengambil S2 di Amerika, dosennya, di Tokyo University, enggan menuliskan surat rekomendasi. Setelah dirayu-rayu akhirnya dosennya bersedia. Di surat rekomendasi, secara jujur, dosennya berkata, "His results are not good, but he's not that stupid".

Masatoshi akhirnya berhasil mendapatkan gelar Ph.D. Kalau dulu ia lulus dari Tokyo University dengan nilai terendah, kini ia menjadi profesor fisika di universitas yang sama. Pertanyaannya, "Yang bodoh ini si Masatoshi ataukah cara pengujiannya?"

Bagaimana dengan Thomas Alfa Edison? Edison dianggap sebagai anak yang sangat bodoh, tidak bisa diajar, sehingga gurunya meminta orangtua Edison mengeluarkannya dari sekolah. Kita semua tahu bahwa Edison adalah salah satu penemu/inventor yang paling brilian yang telah mematenkan lebih dari 1.000 penemuan.

Lalu apakah gunanya ujian? Ujian atau tes sebenarnya adalah salah cara untuk mengetahui tingkat penguasaan materi. Bila nilai ujian jelek maka artinya adalah anak belum menguasai materi dengan baik, bukan anak bodoh. Ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar anak. Salah satunya adalah sistem pengujian yang digunakan.

Dengan sistem KBK, guru kini harus memasukkan unsur afeksi dan psikomotor dalam proses penilaian. Akan sangat riskan bila guru melakukan penilaian tanpa mengerti gaya belajar murid. Salah satu aspek yang dinilai dalam afeksi adalah perhatian murid terhadap guru saat guru menjelaskan.

Murid dengan gaya belajar dominan kinestetik tentu akan sangat dirugikan. Mengapa? Karena murid tipe ini cenderung untuk sibuk sendiri, namun ia tetap fokus pada apa yang dijelaskan guru. Murid kinestetik memperhatikan guru tidak harus dengan menatap langsung ke depan kelas. Guru yang tidak mengerti hal ini akan mencap muridnya tidak memperhatikan dirinya. Dengan demikian akan memberikan penilaian yang tidak tepat.

Lalu bagaimana dengan UN atau UNAS? Ini setali tiga uang. Justru sistem ujian ini membuat murid tidak mau belajar dengan sungguh-sungguh materi yang tidak di-UNAS-kan. Banyak murid yang berkata, "Buat apa belajar kalau ternyata mata pelajaran itu nggak ikut UNAS!" Dan guru mengeluh karena murid tidak termotivasi untuk belajar.

Sudah saatnya kita melakukan pengujian dengan cara yang manusiawi, memihak, dan memberdayakan anak atau peserta didik. Ujian yang anak-anak (kita) jalani saat ini identik dengan kemampuan menghapal. Semakin kuat kemampuan menghapal akan dianggap semakin pintar. Benarkah demikian adanya? Link : http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=3732742901785072055

READ MORE - Menggugat (Sistem) Ujian

Kuburan: Tempat Terkaya di Dunia

Life is a daring adventure or nothing ? Helen Keller

Saat anda membaca kata "kuburan" apa yang muncul dalam pikiran anda? Apakah anda akan langsung teringat orang-orang yang anda kasihi yang telah lebih dulu meninggalkan dunia ini? Atau anda teringat film tentang Drakula, Vampire, Kuntilanak, Forever Night, Simanis Jembatan Ancol, Pemburu Hantu, Dunia Lain, Suara Kubur, atau gambaran lain yang lebih menyeramkan? Atau mungkin yang muncul dalam pikiran anda adalah gundukan tanah dengan batu nisan di ujungnya?

Bila saya mendengar kata kuburan maka yang muncul dalam pikiran saya adalah suatu tempat yang paling kaya di dunia ini. Lho, kok bisa begitu ? Benar, saya melihat gundukan tanah dan batu nisan yang bertuliskan nama, tanggal lahir ? tanggal meninggal. Namun yang lebih saya perhatikan adalah garis kecil yang memisahkan tanggal lahir dan tanggal meninggal. Mengapa? Karena garis kecil inilah yang sebenarnya jauh lebih penting dari pada tanggal lahir atau tanggal meninggal seseorang. Garis kecil ini menggambarkan kehidupan yang telah dilalui seorang manusia, apa yang telah ia lakukan dalam hidupnya, apa yang ia lakukan dengan hidupnya, prestasi apa saja yang telah ia capai baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya, untuk masyarakat, dan untuk umat manusia.

Garis kecil ini merupakan jawaban dari suatu pepatah bijak yang saya dengar bertahun-tahun lalu, yang masih sangat kuat mengiang di hati saya hingga saat ini, ?God?s gift to you is your life. What you do with your life is your gift back to God?.

Mengapa saya mengatakan bahwa kuburan adalah tempat terkaya di dunia ? Karena ada begitu banyak orang yang sebenarnya tidak hidup selama mereka hidup, hanya sekedar ?ada? atau ?exist?, hingga mereka meninggal.

Lha, kalau mereka tidak hidup lalu apakah mereka telah meninggal ? Bukan. Kebanyakan orang hanya sekedar ?hidup ? hidupan?. Mengutip yang dikatakan Benjamin Franklin, ?Most men die from the neck up at age 25 because they stop dreaming?.

Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan oleh Benjamin Franklin. Dan saya ingin menambahkannya menjadi, ?Most men die from the neck up at age 25 not because they stop dreaming but because they don?t have the courage, passion ,commitment, and burning desire to pursue their worthwhile dreams while they are awake and alive?.

Seorang guru spiritual pernah berkata, ?Dalam hidup ada kehidupan. Kita harus menghidupkan kehidupan ini agar kita benar-benar hidup di dalam hidup kita, tidak sekedar hidup-hidupan. Setelah kita benar-benar hidup, mengerti hidup, mengapa kita hidup, dan untuk apa kita hidup, baru kita dapat membantu orang lain untuk menghidupkan kehidupan mereka sehingga mereka benar-benar hidup di dalam kehidupan mereka?.

Kuburan adalah tempat terkaya di dunia karena ada begitu banyak orang yang meninggal dengan membawa impian-impian besar mereka yang belum terwujud, ke dalam kubur. Mereka menyimpan semua harapan dan impian mereka tanpa mampu, sempat, atau berani mewujudkan impian mereka. Ada banyak faktor yang menyebabkan orang tidak hidup sesuai dengan potensi mereka. Ada banyak pencuri impian yang berkeliaran di sekitar kita, yang senantiasa siap mencuri impian-impian kita.

Dalam berbagai kesempatan saya berinteraksi dengan orang, saya selalu melakukan survei kecil-kecilan. Apa yang saya tanyakan ? Saya berusaha mencari tahu benang merah antara bidang pekerjaan atau karir yang mereka kerjakan sekarang dengan latar belakang pendidikan formal atau bidang keunggulan mereka. Hasilnya ? Selalu membuat hati saya sedih.

Hampir semua, saya ulangi hampir semua, orang yang saya temui ternyata melakukan pekerjaan yang berbeda atau tidak sejalan dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari saat masih kuliah. Ada sarjana arsitek atau teknik sipil yang jadi debt collector. Ada lulusan luar negeri yang buka depot atau catering. Ada sarjana teknik kimia yang jadi guru Play Group / TK. Ada sarjana teknik mesin yang jadi sales mobil atau agen asuransi dan masih banyak contoh lain.

Saya sering menjumpai orangtua dan orang tua yang berkata, ?Coba dulu saya melakukan......... pasti keadaan hidup saya berbeda?, ?Saya menyesal setelah kini sadar ternyata impian saya yang sesungguhnya adalah.........?. Apakah anda pernah bertemu dengan orang-orang seperti ini?

Saya juga sering bertemu dengan orang yang dulunya begitu bersemangat mengenai masa depan mereka, impian-impian mereka, dan hidup mereka, ternyata setelah sekian tahun kemudian, saya tidak lagi melihat passion atau gairah hidup yang dulu pernah ada di dalam diri mereka. Saat saya bertanya mengenai hal ini jawaban mereka biasanya, ?Yah.... kita harus realistis. Ekonomi sekarang lagi sulit. Dapat kerja atau bisa cari makan saja sudah syukur. Nggak usah macam-macam lah?.

Setelah membaca cerita saya sejauh ini mungkin anda akan bertanya, ? Kalau begitu Pak Adi pasti tidak termasuk orang-orang yang diceritakan di atas ??. Anda salah. Saya juga termasuk orang yang pernah salah jurusan. Impian-impian saya sempat hampir padam. Namun saya bersyukur karena saya dapat segera sadar dan segera menyusun ulang program hidup saya. Saya juga pernah tersesat. Besar harapan saya, setelah anda membaca cerita saya, anda bisa saya sesatkan kembali ke jalan yang benar.

Lalu bagaimana caranya untuk bisa mengetahui impian kita yang sesungguhnya ? Butuh waktu untuk melakukan perenungan mendalam. Impian hidup hanya bisa ditemukan melalui serangkaian proses perjalanan pencarian ke dalam diri (inner journey). Impian ini hanya bisa didapatkan bila kita sungguh-sungguh bangun, sadar, dan mencarinya secara sadar. Impian setiap orang berbeda. Namun bila impian itu berasal dari lubuk hati terdalam, maka esensi setiap impian hidup pasti akan sama dan sangat mulia. Karena impian bersifat sangat pribadi maka saya tidak akan membahasnya dalam artikel ini. Yang akan saya bahas adalah potensi diri atau bidang keunggulan kita.

Setelah menemukan impian hidup barulah kita menentukan strategi untuk mencapainya. Untuk itu, kita perlu mengenal potensi diri. Yang saya maksudkan dengan potensi diri adalah kekuatan atau bidang keunggulan kita. Untuk menemukan bidang keunggulan atau potensi diri yang sesungguhnya maka kita perlu, untuk sementara waktu, melupakan semua pendidikan formal yang pernah kita jalani. Lakukan analisa diri dengan cermat dan jujur.

Bidang pekerjaan yang kita lakukan saat ini belum tentu sejalan dengan potensi diri yang menjadi keunggulan kita. Lalu bagaimana caranya untuk mengetahui bidang keunggulan kita ? Kawan karib saya, Paulus Winarto, memberikan resepnya dengan sangat gamblang, seperti yang saya kutip di bawah ini:

  1. Kita menyukai pekerjaan/aktivitas tersebut
  2. Kita mau melakukan pekerjaan/aktivitas tersebut meski tidak dibayar
  3. Kita merasakan mudah melakukannya sedangkan orang lain merasa sulit
  4. Semakin sering kita melakukannya maka semakin baik kita dalam bidang ini
  5. Kita sering dipuji orang karena melakukannya (pekerjaan ini mampu kita lakukan dengan baik)
  6. Kita selalu bersemangat saat membicarakan pekerjaan/aktivitas tersebut
  7. Kita selalu bersemangat dan memiliki energi yang besar saat melakukan pekerjaan/aktivitas tersebut
  8. Kita sering lupa waktu saat melakukan pekerjaan/aktivitas tersebut
  9. Kita merasa puas ketika melakukan pekerjaan/aktivitas tersebut
  10. Kita merasa bangga saat melakukan pekerjaan/aktivitas tersebut
  11. Kita mudah mempengaruhi orang dalam bidang pekerjaan/aktivitas tersebut

Ada seorang kawan saya yang memiliki latar belakang pendidikan akuntansi namun bekerja di bagian purcashing/pembelian. Saat ditanya apa pelajaran favoritnya saat di SMA ia menjawab, ?Saya sangat suka bahasa Inggris. Saya selalu mendapat nilai sangat tinggi dalam bidang studi ini?. Saat ditanya mengapa ia memilih jurusan akuntansi, ia menjawab, ?Saya ambil jurusan akuntansi karena dulu saya pikir jurusan ini menjanjikan masa depan yang baik. Hasil tes minat dan bakat saya sebenarnya lebih condong ke aspek bahasa?

Kisah lainnya adalah tentang kawan saya, Lina. Kawan saya ini telah menggeluti dunia desain pakaian selama lebih dari 15 tahun. Ia selalu berkata bahwa passion-nya adalah di dunia mode. Benarkah demikian? Ternyata kalau saya cek dengan 11 kriteria di atas maka dunia mode bukanlah bidang keunggulannya. Mengapa? Karena selama lebih dari 15 tahun dia tidak berkembang. Semakin banyak job yang ia dapatkan maka semakin stress dirinya. Bahkan sampai jatuh sakit.

Saya menyarankan ia untuk beralih profesi dengan mengembangkan diri sejalan dengan bidang keunggulannya. Kembali Lina beralasan bahwa dunia mode adalah dunianya. Di samping itu semua kawannya sudah mengenal dirinya sebagai desainer pakaian. Sayang kalau harus meninggalkan dunia ini karena sudah digeluti lebih dari 15 tahun.

Lalu, siapakah orang yang ?menyesatkan? kita sehingga kita melakukan pekerjaan yang bukan bidang keunggulan kita? Bisa lingkungan, bisa orangtua, bisa pihak sekolah, bisa siapa saja. Mereka adalah orang yang sebenarnya bertujuan baik namun masih menggunakan paradigma lama. Hal ini akan membuat seorang anak tumbuh dewasa tanpa mampu atau sempat mengembangkan potensi mereka yang sesungguhnya.

Sering kali bidang keunggulan seseorang ?dibelokkan? oleh orangtua, teman, guru, atau orang yang dipandang mempunyai otoritas sehingga seorang anak, yang nantinya akan menjadi pribadi dewasa, akhirnya yakin dan mengembangkan diri tidak sejalan dengan potensinya yang sesungguhnya.

Kawan saya, Ariesandi Setyono, lima tahun lalu, pernah membantu seorang anak SMU, sebut saja Agus, untuk menemukan bidang keunggulannya. Agus berasal dari keluarga kurang mampu. Ayahnya terkena stroke dan ibunya kerja serabutan untuk menghidupi keluarganya. Agus adalah anak laki paling besar yang diharapkan menjadi tulang punggung keluarganya.

Saat Aries bertanya, ?Apa hobi atau kegiatan yang sangat suka kamu lakukan??. ?Saya sangat suka merangkai bunga?, jawab Agus cepat. ?Ok, kalau begitu, karena orangtuamu tidak akan mampu membiayai kamu kuliah, maka sebaiknya kamu belajar di Florist dan mendalami hobimu untuk dijadikan sumber uang?, jelas Aries.

Agus benar-benar menjalankan apa yang Aries sarankan. Agus tidak kuliah dan begitu tamat SMU, dengan meminjam uang dari ibunya, langsung belajar merangkai bunga di sebuah Florist terkenal di Surabaya. Hasilnya? Tahun lalu, saat Agus masih berusia 23 tahun, ia telah berhasil membeli satu unit ruko di lokasi yang strategis seharga Rp. 650 juta tunai. Ia juga mampu membeli mobil baru, seharga lebih dari Rp. 100 juta, secara tunai. Yang paling penting adalah ia mampu menjadi tulang punggung keluarganya dalam hal finansial.

Anda pasti bertanya bagaimana si Agus ini kok bisa begitu berhasil? Ternyata dari hobinya merangkai bunga Agus kemudian ?melarikan? kecakapannya ini ke bidang wedding decoration. Hebatnya lagi Agus membidik segmen pasar kelas atas yaitu hanya menerima dekor pengantin di hotel bintang lima. Apa yang Agus lakukan pasti akan sangat maksimal karena usahanya dilakukan sejalan dengan bidang keunggulannya. Kabar terakhir yang kami dengar tentang Agus yaitu jadwalnya untuk setahun sudah penuh. Ck..ck...ck... luar biasa anak muda ini.

Bagaimana dengan anda, para pembaca yang budiman? Apakah anda sudah mengembangkan potensi anda yang sesungguhnya? Apakah anda selama ini hanya menjalani rutinitas pekerjaan yang bukan di bidang keunggulan anda? Link : http://adiwgunawan.com/awg.php?co=p5&mode=detil&ID=18

READ MORE - Kuburan: Tempat Terkaya di Dunia